Jumat

Onani dan Masturbasi.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillaahir rahmaanir rahiim...

Alahmdulillah dari Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam permasalahan onani :

Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah SWT telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang  melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah SWT bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah SWT :

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥﴾
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧﴾

Artinya  :
1). “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap  isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al  Mukminun : 5 – 7).

2). Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih  ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk  bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan  syahwatnya.

3). Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.

4). Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu  makruh dan tidak ada dosa didalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama, sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah SWT :

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119).

Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya :
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqoroh : 29).

5). Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah prilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.

6). Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian  ulama tabi’in yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama dengan  hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz III hal 424 – 426).

Dari pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk kedalam  muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah SWT.
Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa :  32)

Apakah perbuatan tersebut termasuk kedalam dosa besar. ?

Imam Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang batasan dosa besar jika dibedakan dengan dosa kecil :
Dari  Ibnu Abbas menyebutkan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang Allah SWT akhiri dengan neraka, kemurkaan, laknat atau adzab, demikian pula pendapat Imam al-Hasan Bashri.

Para ulama yang lainnya mengatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang diancam Allah SWT dengan neraka atau hadd di dunia.

Abu  Hamid al Ghozali didalam “al Basiith” mengatakan bahwa batasan  menyeluruh dalam hal dosa besar adalah segala kemaksiatan yang dilakukan seseorang tanpa ada perasaan takut dan penyesalan, seperti orang yang menyepelekan suatu dosa sehingga menjadi kebiasaan. Setiap penyepelean  dan peremehan suatu dosa maka ia termasuk kedalam dosa besar.

Asy  Syekhul Imam Abu ‘Amr bin Sholah didalam “al Fatawa al Kabiroh” menyebutkan, bahwa setiap dosa yang besar atau berat maka bisa dikatakan bahwa itu adalah dosa besar.
Adapun diantara tanda-tanda dosa besar adalah wajib atasnya hadd, diancam dengan siksa neraka dan sejensnya sebagaimana disebutkan didalam Al Qur’an maupun Sunnah. Para pelakunya pun disifatkan dengan fasiq berdasarkan nash, dilaknat sebagaimana Allah SWT melaknat orang yang merubah batas-batas tanah. (Shohih Muslim bi  Syarhin Nawawi juz II hal 113).

Dari beberapa definisi dan tanda-tanda dosa besar maka perbuatan onani tidaklah termasuk kedalam dosa besar selama tidak dilakukan secara terus menerus atau menjadi suatu  kebiasaan.

Hendaknya seorang muslim tidak berfikir kecilnya dosa  suatu kemasiatan yang dilakukannya akan tetapi terhadap siapa dia  bermaksiat, tentunya terhadap Allah SWT Yang Maha Besar lagi Maha Mulia.

Apakah Onani Mesti Dengan Menggunakan Tangan.?

Pada asalnya istimna’ (masturbasi) adalah mengeluarkan mani bukan melalui persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya. (Mu’jam Lughotil Fuqoha juz I hal 65).

Masturbasi adalah menyentuh, menggosok dan meraba bagian tubuh sendiri yang peka sehingga menimbulkan rasa menyenangkan untuk mendapat kepuasan seksual (orgasme) baik tanpa  menggunakan alat maupun menggunakan alat.

Sedangkan onani mempunyai arti sama dengan masturbasi. Namun ada yang berpendapat bahwa onani hanya diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan istilah masturbasi dapat  berlaku pada perempuan maupun laki-laki. (sumber : situs.kesrepro.info).

Namun  didalam buku-buku fiqih kata istimna’ (onani) ini adalah mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan baik tangannya, tangan istri atau tangan  budak perempuannya.
Adapun mengeluarkan air mani dengan alat (sarana) tertentu selain tangan pada asalnya tidaklah berbeda dengan istmina’ dikarenakan subsatansi perbuatan itu adalah sama, yaitu sama-sama mengeluarkan mani untuk mendapatkan satu kenikmatan apakah dikarenakan  kondisi terpaksa atau tidak, sehingga hukumnya bisa disamakan dengan hukum onani yang menggunakan tangan.

Ibnu ‘Abidin menyebutkan bahwa  “Perkataan onani itu makruh” adalah secara zhahir ia adalah makruh yang tidak sampai haram. Hal itu dikarenakan bahwa kedudukan onani seperti orang yang mengeluarkan mani baik dengan merapatkan kedua paha atau menekan perutnya. (Roddul Mukhtar juz XV hal 75).

Adapun mengeluarkan mani dengan menonton film-film porno maka ini lebih berat dari sekedar  onani dikarenakan ia telah menyaksikan aurat orang lain yang tidak halal baginya. Pada hakekatnya melihat aurat orang lain melalui menonton film porno sama dengan melihat auratnya secara langsung dan ini adalah haram.

Solusi Bagi Orang Yang Sudah Terbiasa Onani.

DR. Muhammad  Shaleh al Munjid, seorang ulama di Saudi Arabia, menyebutkan beberapa  solusi bagi orang-orang yang terbiasa melakukan perbuatan ini, yaitu :

1). Hendaklah faktor yang mendorongnya untuk melepaskan diri dari kebiasaan  onani adalah untuk menjalankan perintah Allah SWT dan menghindari murka-Nya.

2). Mendorong dirinya untuk mengambil solusi mendasar dengan menikah sebagai pelaksanaan dari wasiat Rasulullah SAW kepada  para pemuda dalam permasalahan ini.

3). Mengarahkan fikiran, bisikan dan menyibukan dirinya dengan perkara-perkara yang didalamnya terdapat kemaslahatan bagi dunia maupun akheratnya. Karena terus menerus  menghayal akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu dan pada akhirnya menjadikannya kebiasaan sehingga sulit untuk dilepaskan.

4). Menjaga pandangan dari melihat orang-orang atau foto-foto yang membawa fitnah apakah itu foto dari orang yang hidup atau sekedar gambar dengan matanya secara langsung. Karena hal itu akan mendorongnya kepada perbuatan yang diharamkan, sebagaimana firman Allah SWT.

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ

Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya…” (QS. An Nuur : 30)

Juga  sabda Rasulullah SAW, ”Janganlah engkau ikuti pandanganmu dengan pandangan yang selanjutnya.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan didalam shahihul jami’)

Pandangan pertama adalah pandangan spontanitas yang tidak ada dosa didalamnya sedangkan pandangan kedua adalah haram.  Untuk itu sudah seharusnya dia menjauhkan diri dari tempat-tempat yang  didalamnya terdapat perkara-perkara yang bisa menggelorakan dan  menggerakkan syahwat.

5). Menyibukkan dirinya dengan berbagai ibadah dan menghindari untuk mengisi waktu-waktu kosongnya dengan maksiat.

6). Mengambil palajaran dari beberapa penyakit pada tubuh yang disebabkan  kebiasaan melakukan onani seperti : melemahkan penglihatan dan syahwat,  melemahkan alat reproduksi, sakit punggung dan penyakit-penyakit lainnya  yang telah disebutkan oleh para dokter. Demikian pula dengan penyakit  kejiwaan seperti : stress, kegalauan hati dan yang lebih besar dari itu  semua adalah meremehkan waktu-waktu sholat dikarenakan berulang kalinya  mandi… dan juga merusak puasanya (apabila dalam keadaan puasa).

7). Menghilangkan berbagai cara untuk mencari kepuasan yang salah, dikarenakan sebagian pemuda menganggap bahwa perbuatan ini dibolehkan dengan alasan menjaga diri dari zina atau homoseksual padahal kondisinya  tidaklah sama sekali mendekati perbuatan yang keji (zina/homoseksual) tersebut.

8). Mempersenjatai diri dengan kekuatan kehendak dan tekad  serta tidak mudah meyerah terhadap setan. Hindari berada dalam  kesendirian seperti bermalam sendirian. Didalam sebuah hadits disebutkan  bahwa Nabi SAW melarang seseorang bermalam sendirian.” (HR. Ahmad  didalam shahihul jami’ 6919).

9). Mengambil cara-cara penyembuhan Nabi SAW berupa puasa, karena ia dapat menekan gejolak syahwat dan seksualnya. Dia juga perlu menghindari beberapa solusi yang aneh,  seperti bersumpah untuk tidak melakukannya lagi atau bernazar dikarenakan jika ia kembali melakukan hal itu maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang memutuskan sumpah yang telah dikokohkan. Jangan pula menggunakan obat-obat penekan syahwat karena didalamnya terkandung berbagai bahaya bagi tubuh. Didalam sunnah disebutkan bahwa segala sesuatu yang dipakai untuk menghentikan syahwat secara  keseluruhan adalah haram.

10). Berkomitmen dengan adab-adab syari’ah saat tidur, seperti; berdzikir, tidur diatas sisi kanan tubuhnya,  menghindarkan tidur telungkup yang dilarang Nabi SAW.

11). Berhias dengan kesabaran dan iffah. Hal yang demikian dikarenakan diantara  kewajiban kita adalah bersabar terhadap hal-hal yang diharamkan walaupun  hal itu disukai oleh jiwa. Telah diketahui bahwa sifat iffah dalam diri pada akhirnya akan menghentikannya dari kebiasaan tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Barangsiapa yang menjaga diri (iffah) maka Allah SWT akan menjaganya, barangsiapa yang meminta pertolongan kepada Allah maka  Allah akan menolongnya, barangsiapa yang bersabar maka Allah SWT akan memberikan kesabaran kepadanya dan tidaklah seseorang diberikan suatu  pemberian yang lebih baik atau lebih luas daripada kesabaran.” (HR.  Bukhori, didalam Fath no 1469).

12). Apabila seseorang telah jatuh  kedalam perbuatan maksiat ini maka segeralah bertaubat dan beristighfar serta melakukan perbuatan-perbuatan taat dengan tidak berputus asa  karena putus asa adalah termasuk kedalam dosa besar.

13). Akhirnya, diantara kewajiban yang tidak diragukan adalah kembali kepada Allah dan  merendahkan dirinya dengan berdoa, meminta pertolongan dari-Nya untuk  melepaskan diri dari kebiasaan ini. Ini adalah solusi terbesar karena  Allah SWT senantiasa mengabulkan doa orang yang berdoa apabila dia  berdoa. (sumber: islam-qa.com)

Hukum Zina Tangan atau Mata.

Abu Hurairoh berkata dari Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai serta  kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhori).

Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab 'Zina Anggota Tubuh Selain Kemaluan', artinya bahwa zina tidak hanya terbatas pada apa yang  dilakukan oleh kemaluan seseorang saja. Namun zina bisa dilakukan dengan mata melalui pandangan dan penglihatannya kepada sesuatu yang tidak dihalalkan, zina bisa dilakukan dengan lisannya dengan membicarakan  hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa dilakukan dengan tangannya berupa menyentuh, memegang sesuatu yang diharamkan.

Ibnu Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol yaitu, ”Pandangan dan pembicaraan  dinamakan dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah “serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (Fathul  Bari juz XI hal 28).

Meskipun demikian hukum zina tangan, lisan dan mata tidaklah sama dengan zina sebenarnya yang wajib atasnya hadd. Si pelakunya hanya dikenakan teguran dan peringatan keras. DR Wahbah menyebutkan bahwa pelaku onani haruslah diberi teguran keras dan tidak dikenakan atasnya hadd. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz VII hal  5348).

Begitu pula penjelasan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dengan  bersandar pada pendapat yang paling benar dari Imam Ahmad bahwa pelaku onani haruslah diberikan teguran keras. (Majmu’ al Fatawa juz XXIV hal  145).

Ibnul Qoyyim mengatakan, ”Adapun teguran adalah pada setiap kemaksiatan yang tidak ada hadd (hukuman) dan juga tidak ada kafaratnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu mencakup 3 (tiga) macam :
  1. Kemaksiatan yang didalamnya ada hadd dan kafarat.
  2. Kemaksiatan yang didalamnya hanya ada kafarat tidak ada hadd.
  3. Kemaksiatan yang didalamnya tidak ada hadd dan tidak ada kafarat.

  • Adapun contoh dari macam yang pertama adalah mencuri, minum khomr, zina dan menuduh orang berzina.
  • Adapun contoh dari macam kedua adalah berjima’ pada siang hari di bulan Ramadhan, bersetubuh saat ihram.
  • Adapun  contoh dari macam yang ketiga adalah menyetubuhi seorang budak yang  dimiliki bersama antara dia dan orang lain, mencium orang asing dan berdua-duaan dengannya, masuk kekamar mandi tanpa mengenakan sarung, memakan daging bangkai, darah, babi dan yang sejenisnya (I’lamul  Muwaqqi’in juz II hal 183).

Adapun terkait dengan permasalahan orang-orang yang melampiaskan kepuasannya dengan menghayalkan orang lain  maka ini termasuk zina maknawi. Untuk lebih jelasnya anda bisa baca dalam jawaban sebelumnya dirubrik ini tentang “Berfantasi Saat Berhubungan Badan”. 

Wallahu A'lam. Insya Allah bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar