Semasa hidupnya Syech Abdul Malik memimpin 2 (dua) thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah.
Sanad Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara
langsung dari ayah beliau yakni Syaikh KH Muhammad Ilyas, sedangkan sanad
Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi
Al-Makki (Makkah).
Syaikh
Abdul Malik mengamalkan dua amalan wirid utama, yaitu
membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau membaca shalawat
sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan menghatamkan
Al-Qur’an setiap hari. Shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS
atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.”
Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu
dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.
Beliau juga dikenal
sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan
sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang
melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat
Karesidenan Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.
Beliau disamping
dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya,
Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan
habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah,
seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad
Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani,
Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya
(Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.
Diceritakan, saat
Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul.
Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah
kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah
salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.
Hal yang sama juga
dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan,
Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya
bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku
mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”
Asy-Syaikh Abdul
Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H
(1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik
diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah
haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh
pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan
saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH
Muhammad Affandi.
Setelah belajar
Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali
Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas).
Pada tahun 1312 H, ketika sudah menginjak usia
dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Makkah untuk menimba ilmu agama.
Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu
Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain.
Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang
lebih selama limabelas tahun.
Dalam ilmu
Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada
Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in).
Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Thaha bin Yahya Al-Magribi (ulama
Hadramaut yang tinggal di Makkah), Sayyid Alwi bin Shalih bin Aqil bin
Yahya, Sayyid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah
At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan Thariqah Alawiyyah ia berguru
pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib
Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin
Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).
Sementara itu,
guru-gurunya di Madinah adalah Sayyid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan,
Sayyid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayyid Abbas Al Maliki Al-Hasani
(kakek Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayyid Ahmad
An-Nahrawi Al Makki, Sayyid Ali Ridha.
Setelah sekian
tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul
Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada kedua orang
tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun
1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.
Sesudah sang ayah
wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di
Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki.
Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah,
dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.
Sepulang dari
pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap
di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui,
Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal
Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan
Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang
waktu yang cukup lama.
Sehingga wajarlah
kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama
dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan
kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah
yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan
juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat
memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar
Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat
agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang
telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.
Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan
Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH
Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan
kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu
Al-Qur’an kepadanya.
Kehidupan Syaikh
Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan
ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem
kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung
Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja,
dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.
Hampir setiap hari
Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh
Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang
dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang
pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para
pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang
diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).
Murid-murid dari
Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad
Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang),
KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH
Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya
(Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Sebagaimana
diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh
Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah
Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni
murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”
Diantara warisan
beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para
pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun
sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah
‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i
asy-Syada’id.”
Shalawat ini
diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani
Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak,
diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak 110 (seratus sepuluh) kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.
Syaikh Abdul Malik
wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan
dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar